Solusi “Kendaraan Hijau” Terjangkau dari Daihatsu
Green technology atau biasa disebut teknologi hijau adalah istilah populer dari pemanfaatan teknologi berwawasan lingkungan. Sebuah arus balik dunia industri yang selama ini akrab dengan teknologi abu-abu yang polutif, boros, dan tidak manusiawi, menjadi teknologi hijau yang bebas emisi, hemat bahan bakar, dan ramah lingkungan.
Berdasarkan data dari The Carbon Dioxide Information Analysis Center (CDIAC), setidaknya terjadi peningkatan level karbodioksida di seluruh dunia dari rata-rata 180-300 ppm menjadi sekitar 390 ppm pada tahun 2008. Itu berarti level CO2 saat ini 30% lebih tinggi dibandingkan periode apapun dalam kurun waktu 800.000 tahun.
Peningkatan level CO2 berdampak besar bagi meningkatnya rata-rata suhu udara global sebesar 0,5 derajat Celcius per dekade. Seandainya laju pertumbuhan suhu ini tidak mampu ditekan, diperkirakan pada tahun 2100, rata-rata suhu dunia akan meningkat 1-4 derajat Celcius lebih panas. Dengan kata lain, pada dekade kedepan kita akan menghadapi ancaman badai tropis, banjir, tanah longsor, abrasi, hingga kekeringan dan bencana kelaparan yang lebih banyak dan lebih berat ketimbang tahun-tahun sebelumnya dalam sejarah umat manusia.
Fenomena pemanasan global sebagaimana ditunjukkan oleh data-data tadi sebenarnya hanyalah ekses dari aktivitas manusia sejak era Revolusi Industri yang mengeksploitasi bahan bakar fosil secara berlebihan. Emisi rumah kaca yang dihasilkan oleh bahan bakar jenis ini merupakan penyumbang terbesar, atau sekitar 75%, bagi meningkatnya level karbondioksida di seluruh dunia yang 28% diantaranya dihasilkan oleh sektor transportasi.
Transportasi di sini adalah kendaraan bermotor seperti pesawat, mobil, motor, kereta api dan kapal laut. Kendaraan inilah yang semakin hari semakin bertambah jumlahnya seiring dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat untuk berpindah tempat dengan nyaman dan cepat. Pertanyaan yang muncul kemudian, jika kita tidak mampu berkompromi untuk menekan kebutuhan berpindah tempat dengan nyaman dan cepat, lantas dengan cara apakah kita menekan laju pemanasan global yang sudah kita akui efek buruknya bagi masa depan bumi kedepan?
Well, ada beberapa skema di sini. Pertama, anda bisa naik transportasi umum atau bersepeda untuk mengurangi emisi gas buang selama perjalanan anda berpindah tempat. Kedua, anda bisa mengendarai mobil “zero emision” berbahan bakar alternatif, non-fossil, yang tidak berbahaya bagi lingkungan sekitar. Ketiga, anda bisa melakukan teleportasi melalui portal-portal tertentu untuk tiba di portal lain tanpa harus terjebak oleh jarak dan waktu perjalanan yang lumayan jauh. Kira-kira opsi mana yang anda pilih?
Baiklah, saya hanya bercanda di opsi ketiga. Teleportasi hingga kini hanya eksis di ranah sci-fi. Lagi jika pun teknologi teleportasi telah ada, belum ada satu manusia pun yang berani menguji keamanan moda transportasi ini pada manusia. Jika demikian, berarti kita hanya memiliki dua opsi saja yang sayangnya keduanya memiliki kelemahan tersendiri.
Kelemahan paling menonjol dari opsi pertama adalah soal jangkauan dan fleksibilitas waktu serta tujuan. Hanya segelintir orang yang berani menempuh perjalanan lebih dari 30 KM menggunakan sepeda setiap hari. Belum lagi kualitas transportasi massal di negara kita yang tidak memadai, membuat kendaraan pribadi sebagai solusi paling diminati, terutama bagi mereka yang tinggal di daerah sub-urban yang membutuhkan mobilitas tinggi tanpa harus dibatasi oleh waktu dan tujuan.
Sebuah kendaraan pribadi dengan mesin berpenggerak listrik yang tidak mengeluarkan polusi, tampak seperti sebuah mimpi ideal. Nyatanya, tidak semua orang mampu memilikinya, terutama warga negara dunia berkembang yang tidak diberi insentif apa-apa oleh pemerintah. Faktor paling utama adalah harga yang masih sangat tinggi. Sebagai gambaran, mobil listrik rakitan lokal ternurah saat ini dibanderol dengan harga 200 juta per unit. Belum lagi ketersediaan infrastruktur pendukung macam stasiun pengisian listrik juga kualitas dan harga listrik yang tergolong mahal, serta isu suku cadang. Menjadikan mobil berteknologi listrik maupun hibrid, sebagai solusi transportasi yg tidak efisien di Indonesia untuk saat ini. Jika demikian, adakah win win solution yang mampu menengahi kebuntuan ini? Fortunately, yes.
Salah satu diantaranya adalah adaptasi teknologi hijau secara gradual sebagaimana dilakukan oleh Daihatsu. Ketimbang langsung memperkenalkan teknologi mobil listrik ke tanah air, Daihatsu lebih memilih memperkenalkan road map green tech kepada masyarakat melalui pengembangan teknologi “mobil hijau” secara bertahap.
Tahap pertama yang dilakukan oleh Daihatsu adalah meningkatkan efisiensi konsumsi bahan bakar kendaraan hingga 30 KM/ liter. Untuk mencapai target ini, Daihatsu melakukan inovasi pada tiga sektor berbeda secara bersamaan:
Pada tahap kedua, mulailah Daihatsu melakukan pembenahan secara total pada sektor mesin. Paling utama adalah penggunaan 2 silinder besar untuk mengganti tiga silinder kecil sebagaimana banyak ditemukan pada banyak city car. Ketika terobosan ini digabungkan dengan sistem pengapian elektronik berfrekuensi tinggi dan kapasitor batere yang lebih besar, hasilnya adalah mesin yang lebih ringan sekaligus lebih responsif dan hemat energi. Pada tahap ini, konsumsi bahan bakar diharapkan dapat ditekan lebih rendah lagi hingga 35 kilometer per liter! Bandingkan dengan konsumsi BBM motor sport yang tidak terpaut jauh.
Setelah kedua tahapan evolusi teknologi itu tercapai, barulah Daihatsu melangkah kepada tahap ketiga yang bertujuan untuk mencapai level zero emision, yakni penggunaan teknologi bahan bakar hidrogen, fuel cell. Langkah Daihatsu mengembangkan teknologi kendaraan berbasis hidrogen sendiri boleh dikatakan sesuatu yang berani. Saat perusahaan otomotif lainnya melakukan pengembangan dibidang kendaraan elektrik maupun hibrid yang berbasis batere, Daihatsu tetap berkomitmen untuk mengembangkan teknologi fuel cell yang oleh sebagian perusahaan dipandang sangat mahal dan tidak cost efficient.
Rahasia dibalik kepercayaan diri Daihatsu adalah pengembangan teknologi fuel cell terbaru bernama PMfLFC4 yang tidak menggunakan platinum, yang nota bene berharga sangat mahal, sebagai katalis bagi reaksi hidrogen dan oksigen. Sebaliknya, Daihatsu menggunakan kobalt dan nikel sebagai pengganti platinum sehingga diharapkan mampu menekan ongkos produksi semaksimal mungkin. Katalis ini kemudian dibanjiri dengan hydrazine hydrate yang merupakan olahan hidrogen cair yang kemudian bereaksi secara kimiawi menghasilkan listrik yang digunakan untuk menggerakkan mesin. Hydrazine hydrate sendiri berbeda dari jenis hidrogen cair lainnya dan diyakini jauh lebih aman karena non-flammable pada suhu normal serta memiliki kepadatan energi yang tinggi sedang disaat bersamaan tidak menghasilkan emisi karbondioksida. Spesifikasi ideal bagi bahan bakar masa depan.
Namun membangun kendaraan hidrogen yang murah tidak sama dengan membangun kendaraan hemat BBM yang murah. Masih ada faktor lain yang harus diperhatikan oleh produsen, yakni ekosistem. Maksud saya, meskipun hidrogen sangat berlimpah di muka bumi ini, tapi dibutuhkan industri hulu yang mampu mengolah sumber daya alam yang banyak itu menjadi produk siap pakai. Hal mana juga berlanjut kepada sistem pendistribusian dan ketersediaan hydrazine hydrate, serta infrastruktur penunjang lainnya yang tidak mungkin bisa tercapai jika belum ada kerjasama yang bagus dengan para pemegang kebijakan, pemerintah.
Pertanyaan yang mengemuka sekarang, sampai dimana sebenarnya realisasi road map green tech Daihatsu? Apakah peta jalan teknologi hijau yang mereka cetuskan hanya berhenti pada level concept car semata yang hanya ramai pada setiap ajang pameran Motorshow? Jawabnya mungkin bisa kita lihat di website utama Daihatsu Jepang. Dari empat mobil utama yang menjadi highlight (Move, Mira e:S, Tanto dan Cocoa Mira) semuanya telah mengusung teknologi penghematan bahan bakar terkini. Konsumsi BBM Move misalnya, telah mencapai 29,02KM/l. Sementara Mira e:S jauh lebih irit lagi, hingga 32KM/l!
Barangkali efektivitas penggunaan bahan bakar mobil-mobil terbaru Daihatsu masih belum mencapai target yang telah mereka tetapkan pada peta jalan teknologi hijau. Namun jika kita bandingkan dengan produk Daihatsu yang telah beredar di Indonesia saat ini, seperti Luxio, Terios, dan Xenia, penghematan yang dicapai bahkan melampaui ekspektasi mereka sendiri yang hanya berada di level 30% saja, tapi telah mencapai level efisiensi BBM hingga 58%. Dari data ini kita dapat memperkirakan, jika posisi Daihatsu saat ini telah berada pada tahap kedua dari road map green tech yang mereka tetapkan.
Tentu kita tidak bisa berharap terlalu banyak jika target tahap ketiga Daihatsu dapat tercapai dalam waktu dekat. Selain karena persoalan infrastruktur stasiun pengisian bahan bakar hidrogen yang belum ada di tanah air, juga keberadaan teknologi fuel cell sendiri yang belum terlalu populer ketimbang mobil listrik.
Terlepas dari segala kekurangan itu, kemampuan Daihatsu untuk menekan konsumsi BBM di kendaraan terbaru mereka patut mendapat apresiasi yang tinggi, mengingat harga minyak dunia yang kian hari kian mahal juga penghematan yang dihasilkan pada setiap liter bahan bakar fosil ini berpengaruh besar bagi upaya menekan laju pemanasan global yang kian hari kian memprihatinkan.
Semoga kendaraan hijau Daihatsu ini segera hadir di Indonesia.
Referensi
Berdasarkan data dari The Carbon Dioxide Information Analysis Center (CDIAC), setidaknya terjadi peningkatan level karbodioksida di seluruh dunia dari rata-rata 180-300 ppm menjadi sekitar 390 ppm pada tahun 2008. Itu berarti level CO2 saat ini 30% lebih tinggi dibandingkan periode apapun dalam kurun waktu 800.000 tahun.
Peningkatan level CO2 berdampak besar bagi meningkatnya rata-rata suhu udara global sebesar 0,5 derajat Celcius per dekade. Seandainya laju pertumbuhan suhu ini tidak mampu ditekan, diperkirakan pada tahun 2100, rata-rata suhu dunia akan meningkat 1-4 derajat Celcius lebih panas. Dengan kata lain, pada dekade kedepan kita akan menghadapi ancaman badai tropis, banjir, tanah longsor, abrasi, hingga kekeringan dan bencana kelaparan yang lebih banyak dan lebih berat ketimbang tahun-tahun sebelumnya dalam sejarah umat manusia.
Fenomena pemanasan global sebagaimana ditunjukkan oleh data-data tadi sebenarnya hanyalah ekses dari aktivitas manusia sejak era Revolusi Industri yang mengeksploitasi bahan bakar fosil secara berlebihan. Emisi rumah kaca yang dihasilkan oleh bahan bakar jenis ini merupakan penyumbang terbesar, atau sekitar 75%, bagi meningkatnya level karbondioksida di seluruh dunia yang 28% diantaranya dihasilkan oleh sektor transportasi.
Transportasi di sini adalah kendaraan bermotor seperti pesawat, mobil, motor, kereta api dan kapal laut. Kendaraan inilah yang semakin hari semakin bertambah jumlahnya seiring dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat untuk berpindah tempat dengan nyaman dan cepat. Pertanyaan yang muncul kemudian, jika kita tidak mampu berkompromi untuk menekan kebutuhan berpindah tempat dengan nyaman dan cepat, lantas dengan cara apakah kita menekan laju pemanasan global yang sudah kita akui efek buruknya bagi masa depan bumi kedepan?
Well, ada beberapa skema di sini. Pertama, anda bisa naik transportasi umum atau bersepeda untuk mengurangi emisi gas buang selama perjalanan anda berpindah tempat. Kedua, anda bisa mengendarai mobil “zero emision” berbahan bakar alternatif, non-fossil, yang tidak berbahaya bagi lingkungan sekitar. Ketiga, anda bisa melakukan teleportasi melalui portal-portal tertentu untuk tiba di portal lain tanpa harus terjebak oleh jarak dan waktu perjalanan yang lumayan jauh. Kira-kira opsi mana yang anda pilih?
Baiklah, saya hanya bercanda di opsi ketiga. Teleportasi hingga kini hanya eksis di ranah sci-fi. Lagi jika pun teknologi teleportasi telah ada, belum ada satu manusia pun yang berani menguji keamanan moda transportasi ini pada manusia. Jika demikian, berarti kita hanya memiliki dua opsi saja yang sayangnya keduanya memiliki kelemahan tersendiri.
Kelemahan paling menonjol dari opsi pertama adalah soal jangkauan dan fleksibilitas waktu serta tujuan. Hanya segelintir orang yang berani menempuh perjalanan lebih dari 30 KM menggunakan sepeda setiap hari. Belum lagi kualitas transportasi massal di negara kita yang tidak memadai, membuat kendaraan pribadi sebagai solusi paling diminati, terutama bagi mereka yang tinggal di daerah sub-urban yang membutuhkan mobilitas tinggi tanpa harus dibatasi oleh waktu dan tujuan.
Sebuah kendaraan pribadi dengan mesin berpenggerak listrik yang tidak mengeluarkan polusi, tampak seperti sebuah mimpi ideal. Nyatanya, tidak semua orang mampu memilikinya, terutama warga negara dunia berkembang yang tidak diberi insentif apa-apa oleh pemerintah. Faktor paling utama adalah harga yang masih sangat tinggi. Sebagai gambaran, mobil listrik rakitan lokal ternurah saat ini dibanderol dengan harga 200 juta per unit. Belum lagi ketersediaan infrastruktur pendukung macam stasiun pengisian listrik juga kualitas dan harga listrik yang tergolong mahal, serta isu suku cadang. Menjadikan mobil berteknologi listrik maupun hibrid, sebagai solusi transportasi yg tidak efisien di Indonesia untuk saat ini. Jika demikian, adakah win win solution yang mampu menengahi kebuntuan ini? Fortunately, yes.
Salah satu diantaranya adalah adaptasi teknologi hijau secara gradual sebagaimana dilakukan oleh Daihatsu. Ketimbang langsung memperkenalkan teknologi mobil listrik ke tanah air, Daihatsu lebih memilih memperkenalkan road map green tech kepada masyarakat melalui pengembangan teknologi “mobil hijau” secara bertahap.
Tahap pertama yang dilakukan oleh Daihatsu adalah meningkatkan efisiensi konsumsi bahan bakar kendaraan hingga 30 KM/ liter. Untuk mencapai target ini, Daihatsu melakukan inovasi pada tiga sektor berbeda secara bersamaan:
- Pembenahan di sektor power train dengan meningkatkan rasio kompresi dari 10,5 menjadi 11,3. Untuk menunjang kompresi yang tinggi tersebut Daihatsu memperbaiki sistem sirkulasi gas buang konvensional menjadi i-EGR1, aplikasi sistem transmisi CVT2, dan mengurangi beban mesin melalui optimalisasi rasio persneling.
- Pemangkasan beban kendaraan sebesar 60Kg dengan cara pengaplikasian Shell body framework, penggunaan bahan plastik pada bidang interior, efisiensi tata ruang, dan penggunaan mesin yang lebih ringan.
- Pembenahan pada manajemen energi dengan menggunakan sistem eco-IDLE3 terbaru yang mampu mengurangi konsumsi bahan bakar sebesar 10% pada saat macet.
Pada tahap kedua, mulailah Daihatsu melakukan pembenahan secara total pada sektor mesin. Paling utama adalah penggunaan 2 silinder besar untuk mengganti tiga silinder kecil sebagaimana banyak ditemukan pada banyak city car. Ketika terobosan ini digabungkan dengan sistem pengapian elektronik berfrekuensi tinggi dan kapasitor batere yang lebih besar, hasilnya adalah mesin yang lebih ringan sekaligus lebih responsif dan hemat energi. Pada tahap ini, konsumsi bahan bakar diharapkan dapat ditekan lebih rendah lagi hingga 35 kilometer per liter! Bandingkan dengan konsumsi BBM motor sport yang tidak terpaut jauh.
Setelah kedua tahapan evolusi teknologi itu tercapai, barulah Daihatsu melangkah kepada tahap ketiga yang bertujuan untuk mencapai level zero emision, yakni penggunaan teknologi bahan bakar hidrogen, fuel cell. Langkah Daihatsu mengembangkan teknologi kendaraan berbasis hidrogen sendiri boleh dikatakan sesuatu yang berani. Saat perusahaan otomotif lainnya melakukan pengembangan dibidang kendaraan elektrik maupun hibrid yang berbasis batere, Daihatsu tetap berkomitmen untuk mengembangkan teknologi fuel cell yang oleh sebagian perusahaan dipandang sangat mahal dan tidak cost efficient.
Rahasia dibalik kepercayaan diri Daihatsu adalah pengembangan teknologi fuel cell terbaru bernama PMfLFC4 yang tidak menggunakan platinum, yang nota bene berharga sangat mahal, sebagai katalis bagi reaksi hidrogen dan oksigen. Sebaliknya, Daihatsu menggunakan kobalt dan nikel sebagai pengganti platinum sehingga diharapkan mampu menekan ongkos produksi semaksimal mungkin. Katalis ini kemudian dibanjiri dengan hydrazine hydrate yang merupakan olahan hidrogen cair yang kemudian bereaksi secara kimiawi menghasilkan listrik yang digunakan untuk menggerakkan mesin. Hydrazine hydrate sendiri berbeda dari jenis hidrogen cair lainnya dan diyakini jauh lebih aman karena non-flammable pada suhu normal serta memiliki kepadatan energi yang tinggi sedang disaat bersamaan tidak menghasilkan emisi karbondioksida. Spesifikasi ideal bagi bahan bakar masa depan.
Mira e:S |
Pertanyaan yang mengemuka sekarang, sampai dimana sebenarnya realisasi road map green tech Daihatsu? Apakah peta jalan teknologi hijau yang mereka cetuskan hanya berhenti pada level concept car semata yang hanya ramai pada setiap ajang pameran Motorshow? Jawabnya mungkin bisa kita lihat di website utama Daihatsu Jepang. Dari empat mobil utama yang menjadi highlight (Move, Mira e:S, Tanto dan Cocoa Mira) semuanya telah mengusung teknologi penghematan bahan bakar terkini. Konsumsi BBM Move misalnya, telah mencapai 29,02KM/l. Sementara Mira e:S jauh lebih irit lagi, hingga 32KM/l!
Barangkali efektivitas penggunaan bahan bakar mobil-mobil terbaru Daihatsu masih belum mencapai target yang telah mereka tetapkan pada peta jalan teknologi hijau. Namun jika kita bandingkan dengan produk Daihatsu yang telah beredar di Indonesia saat ini, seperti Luxio, Terios, dan Xenia, penghematan yang dicapai bahkan melampaui ekspektasi mereka sendiri yang hanya berada di level 30% saja, tapi telah mencapai level efisiensi BBM hingga 58%. Dari data ini kita dapat memperkirakan, jika posisi Daihatsu saat ini telah berada pada tahap kedua dari road map green tech yang mereka tetapkan.
Tentu kita tidak bisa berharap terlalu banyak jika target tahap ketiga Daihatsu dapat tercapai dalam waktu dekat. Selain karena persoalan infrastruktur stasiun pengisian bahan bakar hidrogen yang belum ada di tanah air, juga keberadaan teknologi fuel cell sendiri yang belum terlalu populer ketimbang mobil listrik.
Terlepas dari segala kekurangan itu, kemampuan Daihatsu untuk menekan konsumsi BBM di kendaraan terbaru mereka patut mendapat apresiasi yang tinggi, mengingat harga minyak dunia yang kian hari kian mahal juga penghematan yang dihasilkan pada setiap liter bahan bakar fosil ini berpengaruh besar bagi upaya menekan laju pemanasan global yang kian hari kian memprihatinkan.
Semoga kendaraan hijau Daihatsu ini segera hadir di Indonesia.
Referensi
- Teknologi terkini dari Exhaust Gas Recirculation yang dikembangkan Daihatsu
- Continously Variable Transmission
- Sistem penyalaan dan pematian mesin dalam waktu singkat sehingga mengurangi kebutuhan BBM saat kendaraan terjebak macet.
- Precious Metal-free Liquid Feed Fuel Cell.
Mantab bener ya daihatsuuu....
BalasHapusGooduck :D
silahkan mampir http://farichatuljannah.blogspot.com/2013/05/teknologi-hijau-itu-seger-di-bumi-irit.html
Terimakasih :)
tinggal menunggu investor lain yg bersedia membangun stasiun pengisian hidrogen cair :)
Hapusmenarik banget ulasannya
BalasHapus#salam kompetisi
kunjungi balik ya http://azhie-anagakaci.blogspot.com/2013/04/teknologi-hijau-daihatsu.html
Terima kasih. Segera cek lokasi. :)
Hapusmari kita dukung gerakan teknologi hijau
BalasHapusHijau untuk bumi!
Hapusteknologi hjau menyenangkan...:)
BalasHapuskunjung balik ya ke ardirahman.blogdetik.com
Menyenangkan dan menyegarkan. Let's go.
HapusUlasannya lugas dan mudah dimengerti ^_^ Keep Blogging & Salam hijau
BalasHapusmampir di pondok ane ya, trims ^_^
http://lifeexpeditionblog.blogspot.com/2013/04/manusia-dan-teknologi-hijau.html
Terimakasih, segera melaju.
HapusIya benar, mari tekan laju pemanasan global.
BalasHapusWaah... keren banget nih postingannya... mengispirasi juga... jangan lupa ya visit, komen dan minta jempolnya di http://azisar.blogdetik.com/2013/05/03/generasi-teknologi-hijau-masa-depan/
BalasHapus