Roh, ruh, dan al-Ruh dalam Al-Quran
Sewaktu saya remaja, ada sebuah lelucon berkenaan dengan keinginan para ilmuwan sebuah negara untuk mengetahui ada tidaknya roh manusia. Mereka pun bereksperimen dengan sebuah tube kaca yang menutupi tubuh seseorang yang tengah sekarat. Seluruh ilmuwan berkumpul di tempat tersebut, dengan harapan dapat melihat roh dengan jelas dan mengisolirnya dalam bejana kaca tadi. Setelah ditunggu lama, bahkan hingga jasad orang yang sekarat tersebut telah dingin karena sudah meninggal, para ilmuwan ini kecewa karena tidak bisa membuktikan hipotesis mereka tentang roh. Merekapun menyimpulkan jika roh itu tidak ada, karena tidak dapat dilihat dan dideteksi secara empiris. Lelucon ini kerap disampaikan oleh para penceramah pada saat shalat tarawih dan shalat Jumat. Biasanya, mereka mentertawakan usaha para ilmuwan tersebut dan menganggapnya sebagai tindakan yang sia-sia karena tidak ada yang tahu hakekat roh manusia kecuali Allah. Mereka kemudian mengutip sebuah ayat Al-Quran. “Dan mereka bertanya padamu tentang al-ruh. Katakan, ‘al-ruh itu urusan Tuhanku. Dan tidaklah kamu diberi al-i'lm kecuali sedikit.’” Q. 17:85.
Lama saya mengamini ucapan para penceramah tersebut dan menerimanya tanpa kritik, hingga suatu ketika saya menyaksikan tayangan Tafsir Al-Misbah di televisi. Ya, Quraish Shihablah yang pertama kali memberikan keterangan yang berbeda tentang ayat tersebut. Memang secara umum beliau menjelaskan kata al-ruh dalam arti roh seperti yang dikatakan para penceramah. Tapi kemudia ia menambahkan penjelasan singkat yang menerangkan bahwa makna kata tersebut bisa saja Jibril, atau mungkin Al-Quran. Sampai di sini saya terkesima dengan kemungkinan brilian tersebut. Maka saya pun membuka program Zekr di komputer saya untuk mencari tahu berapa kali kata al-ruh disebut dalam Al-Quran, dan bagaimana serta dalam konteks apa mereka digunakan, guna mencari tahu makna semantik yang ada disekeliling kata tersebut.
Agar lebih terpola, maka saya mengklasifikasikan kata ruh dalam dua bentuk penggunaan yang berbeda. Pertama adalah ruh dalam arti umum dan kedua, ruh dalam arti khusus. Dalam tata bahasa Arab, pembedaan ini dapat kita kenali dengan mudah dari ada tidaknya prefix “al” didepan kata yang bersangkutan. Fungsinya mirip dengan tambahan “the” dalam tata bahasa Ingggris, yakni merujuk kepada entitas yang telah dikenal, dengan demikian bersifat khusus, bukan umum. Hasilnya, ternyata terdapat sekitar 14 ayat Al-Quran yang mencantumkan kata ruh dalam bentuk umum, dan ada tujuh ayat yang menggunakan kata al-ruh. Setelah saya cek di Q. 17:85, kata yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah al-ruh, dan bukan ruh. Dengan demikian, target saya sebenarnya adalah memahami speech act dan medan semantik dari al-ruh ini.
Tentu akan terlihat konyol, jika kita tahu arti al-ruh, tapi tidak memiliki ide sama sekali mengenai ruh, karenanya saya pun berusaha mencari tahu arti kata tersebut. Langkah pertama saya adalah mencari dalam kamus Mufradat al-Ragib fi al-Quran al-Karim karya Ragib Al-Isfahani, untuk mengetahui jikalau kata tersebut bukan kata Arab asli. Ternyata, dalam kamus tersebut, dan kamus yang lebih modern karya Arthur Jeffery yang berjudul Foreign Vocabularies of Quran, tidak ditemukan kata ruh. Disini saya bisa menyimpulkan bila kata ruh benar-benar kata Arab asli dan bukan saduran dari bahasa asing, sehingga kita dapat memahami keotentikan kata tersebut dalam kosakata Arab dan bukan bahasa asing lain, termasuk bahasa Indonesia.
Sebenarnya saya memiliki kamus digital Lisan al-Arab di komputer saya, tapi karena program untuk membaca ekstensi file tersebut belum saya temukan, akhirnya saya membuka Arabic-English Lexicon karangan Edward William Lane yang berekstensi DJVU. Dari segi materi, sebenarnya Lexicon tidak kalah dengan Lisan. Ia terdiri atas delapan jilid buku, yang masing-masing berisi 400 hingga 500-an halaman. Bagi yang tidak terlalu fasih berbahasa Arab, Lexicon dapat diandalkan untuk mencari tahu akar kata dan penggunaan kosakata Arab, karena maknanya diterangkan dalam bahasa Inggris.
Kata ruh berasal dari akar kata r w h. Setidaknya terdapat 10 entri makna berkenaan dengan akar kata tersebut, dan berkorelasi dengan kata angin sepoi-sepoi, ringan, aktif, dan cepat. Kata ruh juga berhubungan dengan kata istirahat, dan bau, demikian pula dengan aktivitas bernafas. Makna umum yang dapat kita temukan pada kata-kata tadi adalah hubungan antara ruh dengan angin atau udara. Dalam hal ini, makna resmi kata tersebut yang berarti nyawa yang menggerakkan makhluk hidup, dapat dipahami secara intuitif sebagai udara yang menggerakkan jasad manusia. Karena udara tidak dapat dilihat, maka demikian pula ruh, yang hanya dapat dirasakan keberadaannya yang seperti angin itu.
Sampai disini, kita dapat memahami maksud para penceramah dengan lelucon yang mereka sampaikan itu. Bahwa ruh selamanya tidak akan pernah dilihat dan dicerap secara empirik oleh manusia, dan hanya Tuhanlah yang mampu untuk menjelaskan hakekat dari ruh. Yang menjadi masalah kemudian, bagaimana menjelaskan hubungan antara Al-Quran atau Jibril dengan term ruh. Cara paling efektif dan tepat untuk mengetahuinya adalah dengan menganalisis penggunaan kata tersebut dalam Al-Quran. Dengan demikian, kita beralih dari pemahaman ruh dalam arti umum sebagaimana yang kita ketemukan dalam kamus, kepada pemahaman ruh sebagaimana digunakan dalam ayat-ayat Al-Quran yang kontekstual.
Dari empatbelas ayat yang mengandung kata ruh, empat diantaranya berkaitan dengan kata al-quds, suci, dan membentuk sebuah term baru bernama Ruh al-Quds. Tiga ayat diantaranya, 5:10, 2:253, 2:78, berhubungan dengan ihwal kerasulan Isa yang diperkuat dengan Ruh al-Quds. Namun pada ayat 4:171, Isa didefinisikan sebagai rasulullah, kalimat Tuhan yang disampaikan kepada Maryam, dan ruh dariNya. Dengan demikian, selain diperkuat oleh Ruh al-Quds, ternyata Isa sendiri memiliki ruh Tuhan. Keberadaan ruh Tuhan dalam diri Isa, sangat berkaitan dengan proses kelahirannya yang supranatural. Pada 19:17 dijelaskan bahwa Tuhan, dalam bentuk plural, mengirimkan kepada Maryam “ruh kami” yang tampak baginya seperti manusia sempurna. Dari pertemuan dengan “ruh kami”lah, kemudian Maryam mengandung Isa. Al-Quran sendiri menjelaskan secara unik kehamilan Maryam ini dengan menjelaskan bahwa ia adalah perempuan yang menjaga kemaluannya yang ditiupkan padanya sebagian dari “ruh kami”. Namun dua ayat yang menerangkan pernyataan unik ini memiliki dua objek yang berbeda. Yakni pada 66:12 objek peniupan ruh ber-gender maskulin, sedang pada 21:91, bergender feminin. Perbedaan gender ini dalam hemat saya merujuk baik kepada Maryam maupun Isa. Dengan kata lain, bukan hanya Isa saja yang mendapatkan “ruh kami”, tapi juga Maryam.
Ternyata, keberadaan ruh Tuhan dalam diri manusia bukanlah prerogatif Isa dan Maryam semata. Pada 32:9, 15:29, dan 38:72, juga diterangkan bahwa manusia pertama telah diisi oleh ruhNya. Dalam konteks ini, penyampaian ruh Tuhan kepada diri Adamlah yang membuat para malaikat sujud kepadanya. Sujudnya para malaikat kepada Adam, sangat berkaitan dengan ihwal pengajaran nama-nama yang disampaikan Tuhan kepadanya dalam 2:31. Pada ayat tersebut diterangkan bahwa Adam mampu dengan gemilang mengungguli para malaikat, karena mampu memberitakan nama-nama yang telah Tuhan ajarkan kepadanya. Keterangan yang terdapat pada ayat tersebut, memberikan petunjuk awal kepada kita, jika kata ruh ternyata berkaitan pula dengan ajaran-ajaran Tuhan.
Penyamaan ruh Tuhan, dengan ajaran-ajaran Tuhan diperkuat oleh perkataan Ya’qub kepada putra-putranya dalam 12:87 untuk tidak berputus asa dalam mencari Yusuf yang hilang. Pada ayat tersebut, Ya’qub mengatakan: “janganlah kalian berputus asa dari ruh Allah. Sungguh hanya kaum kafirlah yang putus asa dari ruh Allah”. Perkataan Ya’qub ini kemudian diperkuat pula oleh 58:22 yang menjelaskan bahwa orang-orang beriman tidak akan berkasih sayang kepada orang-orang yang menentang Allah dan RasulNya, meskipun mereka adalah sanak saudara mereka. Orang-orang beriman ini, menurut Allah, adalah mereka yang telah tercatat dalam qalb mereka iman, dan diperkuat dengan ruh dariNya. Tentu saja, ruh Tuhan, melebihi ajaran-ajaran Tuhan semata. Saya memberikan hipotesis, bahwa yang dimaksud oleh term tersebut adalah kemampuan untuk mengaplikasikan ajaran-ajaran Tuhan dalam tataran praktis. Yakni tatkala ajaran-ajaran tersebut telah mendarah daging dalam perilaku keseharian seseorang, maka yang bersangkutan tidak ubahnya mereka yang telah mendapat ruh Tuhan. Atau dalam bahasa yang lebih kasar, dirinya telah terasuki oleh segenap semangat moral dan tuntunan ilahiyah.
Resapan “semangat ketuhanan” dalam diri seseorang ini jelas bukan sebuah peristiwa yang subjektif. Dalam 16:102 diterangkan bahwa keteraturan susunan ayat-ayat Al-Quran dikarenakan ia dibawa oleh ruh al-Quds dari Tuhan kepada Nabi SAW. Disini kita menemukan bahwa tekstualitas Al-Quran berada di luar subjektivitas Muhammad SAW sebagai rasul yang menyampaikan ajaran-ajaran Tuhan. Pada seri ayat yang menerangkan tata laksana turunnya wahyu pada 42:51-2, dijelaskan bahwa wahyu itu sendiri adalah ruh yang menjadi cahaya bagi orang-orang yang dikehendaki oleh Tuhan. Dari pemaparan tersebut, kita sampai pada kesimpulan bahwa, kata ruh, dalam Al-Quran tidak dapat disamakan dengan kata roh dalam bahasa Indonesia. Ia bukanlah roh dalam arti nyawa sebagaimana dimaksud oleh para penceramah, akan tetapi suatu “semangat ilahiah” yang merasuki setiap perilaku seseorang. Meskipun seseorang dapat terasuki sepenuh hati oleh ruh Tuhan, akan tetapi apa yang ia perbuat tidaklah bersifat semena-mena dan subjektif, melainkan mengikuti kaedah-kaedah yang telah ditentukan oleh Tuhan. Meski demikian, penyampaian ruh Tuhan atas diri seseorang sepenuhnya bersifat subjektif bagi Tuhan. Dengan kata lain, hanya Tuhanlah yang berhak memberikan hadiah tersebut kepada seseorang.
Dari definisi tentang kata ruh dalam arti umum sebagaimana digunakan dalam Al-Quran, sekarang kita membahas mengenai kata al-ruh dalam arti khusus. Sekali lagi, kita menemukan keunikan dalam Al-Quran. Jumlah ayat yang memuat kata al-ruh adalah setengah dari jumlah ayat yang memuat kata ruh. Itu berarti sama dengan jumlah ayat yang mengatributkan kata ruh kepada Isa dan Maryam, yakni tujuh ayat. Dari ketujuh ayat ini, tiga diantaranya disandingkan dengan malaikat. Pada 78:38, diterangkan bahwa pada Hari Kiamat nanti, al-Ruh dan malaikat akan bangun dalam satu shaf untuk berbicara atas seizin Al-Rahman. Di ayat berikutnya, 70:4 diterangkan bahwa para malaikat dan al-Ruh naik ke tempat-tempat tertinggi milik Tuhan, yang teramat jauh, dimana waktu sehari dalam kenaikan mereka setara dengan waktu lima puluh ribu tahun menurut ukuran manusia. Adapun pada ayat ketiga, 16:2, dijelaskan bahwa malaikat diturunkan dengan al-Ruh.
Pemaparan kata al-ruh dan hubungannya dengan malaikat di ketiga ayat tersebut, tentu memunculkan banyak pertanyaan. Apakah al-ruh itu individu, entah sejenis malaikat atau makhluk yang jauh lebih tinggi derajatnya, ataukah ia sebuah objek yang tidak hidup, macam wahyu? Kesulitan ini berkaitan dengan struktur kalimat pada ayat dimana kata al-Ruh digunakan. Kunci dari jawaban ini, menurut saya terletak pada bagaimana kita memahami ayat 26:193. Disana dijelaskan bahwa Al-Quran nazala bihi al-Ruh al-Amin. Term ini bagi saya memiliki dua makna. Pertama, ia dapat diartikan bahwa Al-Quran itu dibawa oleh al-Ruh al-Amin atau, al-Ruh al-Amin itulah yang membawa Al-Quran dan menyampaikannya kepada Nabi SAW. Dengan kata lain, al-Ruh al-Amin itu subjek, sedangkan Al-Quran itu objek. Kedua, term tadi juga dapat diartikan sebagai nazala bi al-Quran, al-Ruh al-Amin, atau Al-Quran diturunkan kepada Muhammad SAW bersama al-Ruh al-Amin. Pada makna kedua ini, baik Al-Quran maupun al-Ruh al-Amin, sama-sama objek yang diturunkan Tuhan kepada Nabi SAW.
Bagi saya, kedua penafsiran ini memiliki beberapa konsekuensi logis, yakni jika ia subjek tentu kita dapat memahami ayat 78:38 dan 70:4 dengan jelas. Yakni al-Ruh yang dapat berkata-kata di akhirat kelak dan yang naik ke tempat-tempat tertinggi, ma’arij, serta yang turun bersama malaikat pada malam qadr. Meskipun demikian, koherensi makna al-Ruh dengan ruh sebagaimana saya jelaskan sebelumnya akan sedikit berbeda. Dalam hal ini, “semangat ilahiyah” akan mengalami distorsi makna, jika kita menyamakannya sebagai subjek. Dimana, kondisi orang yang terasuki ruh Tuhan mengalami kehilangan kesadaran akan identitas, karena tergantikan oleh subjek lain yang merasukinya. Tentu saja penafsiran ini sangat bermasalah, karena meskipun seseorang terasuki oleh ruh Tuhan, tapi ia tidaklah kehilangan kesadaran akan identitas dirinya. Yang saya maksud adalah, kita dapat membedakan dengan jelas antara orang yang “kerasukan” sesuatu dan melakukan sebuah perbuatan tanpa sadar, dengan orang yang melakukan sebuah perbuatan dengan sadar, tapi terinspirasi oleh sebuah semangat yang merasuk kedalam dirinya. Dalam arti kedua inilah mestinya makna ruh disematkan.
Lalu bagaimana mengartikan al-Ruh sebagai sebuah objek? Menurut saya, ayat 40:15 memberikan petunjuk bagi masalah ini. Yakni, hanya Tuhanlah yang mengangkat derajat sesuatu/ seseorang, yang memiliki ‘Arsy, dan menyampaikan al-Ruh dengan perintahNya kepada hamba-hambaNya yang Dia kehendaki. Al-Ruh dengan demikian memiliki makna yang sama dengan ruh. Model penafsiran ini tentu sangat berguna dalam menafsirkan fenomena laylatul qadr pada surat 97. Dalam ayat tersebut dikemukakan definisi dari malam qadr, yakni malam yang lebih baik dari seribu bulan, dimana pada malam tersebut malaikat dan al-Ruh turun atas seizin Tuhan, untuk mengatur setiap urusan. Akan pengertian ini, sekali lagi saya teringat penafsiran Quraish Shihab tentang makna surat tersebut.
Kalau saya tidak salah, beliau menjelaskan tentang arti laylatul qadr sebagai malam saat nilai ibadah yang kita lakukan setara dengan ibadah yang dikerjakan selama seribu bulan. Malam qadr dengan demikian ibarat premier time yang berlangsung singkat, dari malam hingga terbit fajar. Meski singkat, akan tetapi setiap ibadah yang dilakukan pada malam tersebut memiliki nilai balasan yang teramat tinggi. Pendapat ini adalah pendapat umum yang tersebar luas di tengah-tengah masyarakat kita. Lalu apa penafsiran berikutnya? Quraish Shihab mengartikan term terbit matahari, mathla’ al-fajr, di ayat 5 surat tersebut sebagai akhir hayat manusia. Maksudnya, mereka yang dikaruniai Tuhan untuk bertemu laylatul qadr akan menjadi orang yang selalu berbuat baik sepanjang hidupnya, dan perilakunya itu tidaklah terbatas pada satu malam saja. Di sini Quraish Shihab berargumen bahwa pengaruh malam qadr tidaklah berlangsung singkat, melainkan membekas dalam diri seseorang, dimana orang yang bersangkutan akan selalu mendapatkan bimbingan dari Tuhan hingga ia meninggal.
Apabila kita menerima penafsiran kedua ini, maka ide bahwa al-Ruh sebagai sebuah objek yang memiliki arti yang sama dengan ruh, dapat kita kita pahami dengan logis. Ia adalah keadaan sadar diri dalam perlindungan dan petunjuk Tuhan. Kesadaran akan ajaran-ajaranNya, sebagaimana dahulu para nabi dan rasul telah “terasuki”. Untungnya, rasa sadar ini bukan hanya milik mereka. Kita para manusia biasa juga bisa mendapatkan al-Ruh. Saat dimana Tuhan menganugerahkan al-Ruh pada diri seseorang adalah pada malam qadr. Pada malam inilah atas seizin Tuhan, al-Ruh diberikan kepada hamba-hamba pilihanNya. Sekali lagi, pengaruh al-Ruh bersifat permanen. Ia akan mempengaruhi kehidupan orang terpilih tersebut sepanjang hayatnya hingga ia meninggal dunia.
Penafsiran bahwa al-Ruh memiliki arti yang sama dengan ruh, dalam banyak hal menjelaskan pula tentang hakekat agama dan juga Al-Quran. Pertanyaan yang selalu menggugah ilmuwan, kenapa manusia beragama, darimana asal muasal Al-Quran, selanjutnya berkaitan dengan ide bagaimana Tuhan menyampaikan al-Ruh secara subjektif. Bahwa keberagamaan dan kemudian Al-Quran sendiri adalah anugerah yang diberikan Tuhan kepada manusia, dan pertanyaan mengenai asal-usul keduanya akan tetap menjadi rahasia Tuhan untuk selama-lamanya. Manusia tidak akan pernah dapat mengerti hakekat keberagamaan dan Al-Quran. Pada titik inilah mestinya ayat 17:85 dipahami. “yas’alunaka a’n al-Ruh, qul al-Ruh min amri Rabbi, wa ma utitum min al-i’lm illa qalilan”. Mereka bertanya padamu tentang wahyu dan agama, juga tentang keberagamaan itu sendiri. Katakan, bahwa hal tersebut adalah urusan Tuhanku, dan kalian tidaklah memiliki pengetahuan atasnya kecuali sedikit.
Wa Allah A’lam bi al-shawwab.
Catatan kecil
Lama saya mengamini ucapan para penceramah tersebut dan menerimanya tanpa kritik, hingga suatu ketika saya menyaksikan tayangan Tafsir Al-Misbah di televisi. Ya, Quraish Shihablah yang pertama kali memberikan keterangan yang berbeda tentang ayat tersebut. Memang secara umum beliau menjelaskan kata al-ruh dalam arti roh seperti yang dikatakan para penceramah. Tapi kemudia ia menambahkan penjelasan singkat yang menerangkan bahwa makna kata tersebut bisa saja Jibril, atau mungkin Al-Quran. Sampai di sini saya terkesima dengan kemungkinan brilian tersebut. Maka saya pun membuka program Zekr di komputer saya untuk mencari tahu berapa kali kata al-ruh disebut dalam Al-Quran, dan bagaimana serta dalam konteks apa mereka digunakan, guna mencari tahu makna semantik yang ada disekeliling kata tersebut.
Agar lebih terpola, maka saya mengklasifikasikan kata ruh dalam dua bentuk penggunaan yang berbeda. Pertama adalah ruh dalam arti umum dan kedua, ruh dalam arti khusus. Dalam tata bahasa Arab, pembedaan ini dapat kita kenali dengan mudah dari ada tidaknya prefix “al” didepan kata yang bersangkutan. Fungsinya mirip dengan tambahan “the” dalam tata bahasa Ingggris, yakni merujuk kepada entitas yang telah dikenal, dengan demikian bersifat khusus, bukan umum. Hasilnya, ternyata terdapat sekitar 14 ayat Al-Quran yang mencantumkan kata ruh dalam bentuk umum, dan ada tujuh ayat yang menggunakan kata al-ruh. Setelah saya cek di Q. 17:85, kata yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah al-ruh, dan bukan ruh. Dengan demikian, target saya sebenarnya adalah memahami speech act dan medan semantik dari al-ruh ini.
Tentu akan terlihat konyol, jika kita tahu arti al-ruh, tapi tidak memiliki ide sama sekali mengenai ruh, karenanya saya pun berusaha mencari tahu arti kata tersebut. Langkah pertama saya adalah mencari dalam kamus Mufradat al-Ragib fi al-Quran al-Karim karya Ragib Al-Isfahani, untuk mengetahui jikalau kata tersebut bukan kata Arab asli. Ternyata, dalam kamus tersebut, dan kamus yang lebih modern karya Arthur Jeffery yang berjudul Foreign Vocabularies of Quran, tidak ditemukan kata ruh. Disini saya bisa menyimpulkan bila kata ruh benar-benar kata Arab asli dan bukan saduran dari bahasa asing, sehingga kita dapat memahami keotentikan kata tersebut dalam kosakata Arab dan bukan bahasa asing lain, termasuk bahasa Indonesia.
Sebenarnya saya memiliki kamus digital Lisan al-Arab di komputer saya, tapi karena program untuk membaca ekstensi file tersebut belum saya temukan, akhirnya saya membuka Arabic-English Lexicon karangan Edward William Lane yang berekstensi DJVU. Dari segi materi, sebenarnya Lexicon tidak kalah dengan Lisan. Ia terdiri atas delapan jilid buku, yang masing-masing berisi 400 hingga 500-an halaman. Bagi yang tidak terlalu fasih berbahasa Arab, Lexicon dapat diandalkan untuk mencari tahu akar kata dan penggunaan kosakata Arab, karena maknanya diterangkan dalam bahasa Inggris.
Kata ruh berasal dari akar kata r w h. Setidaknya terdapat 10 entri makna berkenaan dengan akar kata tersebut, dan berkorelasi dengan kata angin sepoi-sepoi, ringan, aktif, dan cepat. Kata ruh juga berhubungan dengan kata istirahat, dan bau, demikian pula dengan aktivitas bernafas. Makna umum yang dapat kita temukan pada kata-kata tadi adalah hubungan antara ruh dengan angin atau udara. Dalam hal ini, makna resmi kata tersebut yang berarti nyawa yang menggerakkan makhluk hidup, dapat dipahami secara intuitif sebagai udara yang menggerakkan jasad manusia. Karena udara tidak dapat dilihat, maka demikian pula ruh, yang hanya dapat dirasakan keberadaannya yang seperti angin itu.
Sampai disini, kita dapat memahami maksud para penceramah dengan lelucon yang mereka sampaikan itu. Bahwa ruh selamanya tidak akan pernah dilihat dan dicerap secara empirik oleh manusia, dan hanya Tuhanlah yang mampu untuk menjelaskan hakekat dari ruh. Yang menjadi masalah kemudian, bagaimana menjelaskan hubungan antara Al-Quran atau Jibril dengan term ruh. Cara paling efektif dan tepat untuk mengetahuinya adalah dengan menganalisis penggunaan kata tersebut dalam Al-Quran. Dengan demikian, kita beralih dari pemahaman ruh dalam arti umum sebagaimana yang kita ketemukan dalam kamus, kepada pemahaman ruh sebagaimana digunakan dalam ayat-ayat Al-Quran yang kontekstual.
Dari empatbelas ayat yang mengandung kata ruh, empat diantaranya berkaitan dengan kata al-quds, suci, dan membentuk sebuah term baru bernama Ruh al-Quds. Tiga ayat diantaranya, 5:10, 2:253, 2:78, berhubungan dengan ihwal kerasulan Isa yang diperkuat dengan Ruh al-Quds. Namun pada ayat 4:171, Isa didefinisikan sebagai rasulullah, kalimat Tuhan yang disampaikan kepada Maryam, dan ruh dariNya. Dengan demikian, selain diperkuat oleh Ruh al-Quds, ternyata Isa sendiri memiliki ruh Tuhan. Keberadaan ruh Tuhan dalam diri Isa, sangat berkaitan dengan proses kelahirannya yang supranatural. Pada 19:17 dijelaskan bahwa Tuhan, dalam bentuk plural, mengirimkan kepada Maryam “ruh kami” yang tampak baginya seperti manusia sempurna. Dari pertemuan dengan “ruh kami”lah, kemudian Maryam mengandung Isa. Al-Quran sendiri menjelaskan secara unik kehamilan Maryam ini dengan menjelaskan bahwa ia adalah perempuan yang menjaga kemaluannya yang ditiupkan padanya sebagian dari “ruh kami”. Namun dua ayat yang menerangkan pernyataan unik ini memiliki dua objek yang berbeda. Yakni pada 66:12 objek peniupan ruh ber-gender maskulin, sedang pada 21:91, bergender feminin. Perbedaan gender ini dalam hemat saya merujuk baik kepada Maryam maupun Isa. Dengan kata lain, bukan hanya Isa saja yang mendapatkan “ruh kami”, tapi juga Maryam.
Ternyata, keberadaan ruh Tuhan dalam diri manusia bukanlah prerogatif Isa dan Maryam semata. Pada 32:9, 15:29, dan 38:72, juga diterangkan bahwa manusia pertama telah diisi oleh ruhNya. Dalam konteks ini, penyampaian ruh Tuhan kepada diri Adamlah yang membuat para malaikat sujud kepadanya. Sujudnya para malaikat kepada Adam, sangat berkaitan dengan ihwal pengajaran nama-nama yang disampaikan Tuhan kepadanya dalam 2:31. Pada ayat tersebut diterangkan bahwa Adam mampu dengan gemilang mengungguli para malaikat, karena mampu memberitakan nama-nama yang telah Tuhan ajarkan kepadanya. Keterangan yang terdapat pada ayat tersebut, memberikan petunjuk awal kepada kita, jika kata ruh ternyata berkaitan pula dengan ajaran-ajaran Tuhan.
Penyamaan ruh Tuhan, dengan ajaran-ajaran Tuhan diperkuat oleh perkataan Ya’qub kepada putra-putranya dalam 12:87 untuk tidak berputus asa dalam mencari Yusuf yang hilang. Pada ayat tersebut, Ya’qub mengatakan: “janganlah kalian berputus asa dari ruh Allah. Sungguh hanya kaum kafirlah yang putus asa dari ruh Allah”. Perkataan Ya’qub ini kemudian diperkuat pula oleh 58:22 yang menjelaskan bahwa orang-orang beriman tidak akan berkasih sayang kepada orang-orang yang menentang Allah dan RasulNya, meskipun mereka adalah sanak saudara mereka. Orang-orang beriman ini, menurut Allah, adalah mereka yang telah tercatat dalam qalb mereka iman, dan diperkuat dengan ruh dariNya. Tentu saja, ruh Tuhan, melebihi ajaran-ajaran Tuhan semata. Saya memberikan hipotesis, bahwa yang dimaksud oleh term tersebut adalah kemampuan untuk mengaplikasikan ajaran-ajaran Tuhan dalam tataran praktis. Yakni tatkala ajaran-ajaran tersebut telah mendarah daging dalam perilaku keseharian seseorang, maka yang bersangkutan tidak ubahnya mereka yang telah mendapat ruh Tuhan. Atau dalam bahasa yang lebih kasar, dirinya telah terasuki oleh segenap semangat moral dan tuntunan ilahiyah.
Resapan “semangat ketuhanan” dalam diri seseorang ini jelas bukan sebuah peristiwa yang subjektif. Dalam 16:102 diterangkan bahwa keteraturan susunan ayat-ayat Al-Quran dikarenakan ia dibawa oleh ruh al-Quds dari Tuhan kepada Nabi SAW. Disini kita menemukan bahwa tekstualitas Al-Quran berada di luar subjektivitas Muhammad SAW sebagai rasul yang menyampaikan ajaran-ajaran Tuhan. Pada seri ayat yang menerangkan tata laksana turunnya wahyu pada 42:51-2, dijelaskan bahwa wahyu itu sendiri adalah ruh yang menjadi cahaya bagi orang-orang yang dikehendaki oleh Tuhan. Dari pemaparan tersebut, kita sampai pada kesimpulan bahwa, kata ruh, dalam Al-Quran tidak dapat disamakan dengan kata roh dalam bahasa Indonesia. Ia bukanlah roh dalam arti nyawa sebagaimana dimaksud oleh para penceramah, akan tetapi suatu “semangat ilahiah” yang merasuki setiap perilaku seseorang. Meskipun seseorang dapat terasuki sepenuh hati oleh ruh Tuhan, akan tetapi apa yang ia perbuat tidaklah bersifat semena-mena dan subjektif, melainkan mengikuti kaedah-kaedah yang telah ditentukan oleh Tuhan. Meski demikian, penyampaian ruh Tuhan atas diri seseorang sepenuhnya bersifat subjektif bagi Tuhan. Dengan kata lain, hanya Tuhanlah yang berhak memberikan hadiah tersebut kepada seseorang.
Dari definisi tentang kata ruh dalam arti umum sebagaimana digunakan dalam Al-Quran, sekarang kita membahas mengenai kata al-ruh dalam arti khusus. Sekali lagi, kita menemukan keunikan dalam Al-Quran. Jumlah ayat yang memuat kata al-ruh adalah setengah dari jumlah ayat yang memuat kata ruh. Itu berarti sama dengan jumlah ayat yang mengatributkan kata ruh kepada Isa dan Maryam, yakni tujuh ayat. Dari ketujuh ayat ini, tiga diantaranya disandingkan dengan malaikat. Pada 78:38, diterangkan bahwa pada Hari Kiamat nanti, al-Ruh dan malaikat akan bangun dalam satu shaf untuk berbicara atas seizin Al-Rahman. Di ayat berikutnya, 70:4 diterangkan bahwa para malaikat dan al-Ruh naik ke tempat-tempat tertinggi milik Tuhan, yang teramat jauh, dimana waktu sehari dalam kenaikan mereka setara dengan waktu lima puluh ribu tahun menurut ukuran manusia. Adapun pada ayat ketiga, 16:2, dijelaskan bahwa malaikat diturunkan dengan al-Ruh.
Pemaparan kata al-ruh dan hubungannya dengan malaikat di ketiga ayat tersebut, tentu memunculkan banyak pertanyaan. Apakah al-ruh itu individu, entah sejenis malaikat atau makhluk yang jauh lebih tinggi derajatnya, ataukah ia sebuah objek yang tidak hidup, macam wahyu? Kesulitan ini berkaitan dengan struktur kalimat pada ayat dimana kata al-Ruh digunakan. Kunci dari jawaban ini, menurut saya terletak pada bagaimana kita memahami ayat 26:193. Disana dijelaskan bahwa Al-Quran nazala bihi al-Ruh al-Amin. Term ini bagi saya memiliki dua makna. Pertama, ia dapat diartikan bahwa Al-Quran itu dibawa oleh al-Ruh al-Amin atau, al-Ruh al-Amin itulah yang membawa Al-Quran dan menyampaikannya kepada Nabi SAW. Dengan kata lain, al-Ruh al-Amin itu subjek, sedangkan Al-Quran itu objek. Kedua, term tadi juga dapat diartikan sebagai nazala bi al-Quran, al-Ruh al-Amin, atau Al-Quran diturunkan kepada Muhammad SAW bersama al-Ruh al-Amin. Pada makna kedua ini, baik Al-Quran maupun al-Ruh al-Amin, sama-sama objek yang diturunkan Tuhan kepada Nabi SAW.
Bagi saya, kedua penafsiran ini memiliki beberapa konsekuensi logis, yakni jika ia subjek tentu kita dapat memahami ayat 78:38 dan 70:4 dengan jelas. Yakni al-Ruh yang dapat berkata-kata di akhirat kelak dan yang naik ke tempat-tempat tertinggi, ma’arij, serta yang turun bersama malaikat pada malam qadr. Meskipun demikian, koherensi makna al-Ruh dengan ruh sebagaimana saya jelaskan sebelumnya akan sedikit berbeda. Dalam hal ini, “semangat ilahiyah” akan mengalami distorsi makna, jika kita menyamakannya sebagai subjek. Dimana, kondisi orang yang terasuki ruh Tuhan mengalami kehilangan kesadaran akan identitas, karena tergantikan oleh subjek lain yang merasukinya. Tentu saja penafsiran ini sangat bermasalah, karena meskipun seseorang terasuki oleh ruh Tuhan, tapi ia tidaklah kehilangan kesadaran akan identitas dirinya. Yang saya maksud adalah, kita dapat membedakan dengan jelas antara orang yang “kerasukan” sesuatu dan melakukan sebuah perbuatan tanpa sadar, dengan orang yang melakukan sebuah perbuatan dengan sadar, tapi terinspirasi oleh sebuah semangat yang merasuk kedalam dirinya. Dalam arti kedua inilah mestinya makna ruh disematkan.
Lalu bagaimana mengartikan al-Ruh sebagai sebuah objek? Menurut saya, ayat 40:15 memberikan petunjuk bagi masalah ini. Yakni, hanya Tuhanlah yang mengangkat derajat sesuatu/ seseorang, yang memiliki ‘Arsy, dan menyampaikan al-Ruh dengan perintahNya kepada hamba-hambaNya yang Dia kehendaki. Al-Ruh dengan demikian memiliki makna yang sama dengan ruh. Model penafsiran ini tentu sangat berguna dalam menafsirkan fenomena laylatul qadr pada surat 97. Dalam ayat tersebut dikemukakan definisi dari malam qadr, yakni malam yang lebih baik dari seribu bulan, dimana pada malam tersebut malaikat dan al-Ruh turun atas seizin Tuhan, untuk mengatur setiap urusan. Akan pengertian ini, sekali lagi saya teringat penafsiran Quraish Shihab tentang makna surat tersebut.
Kalau saya tidak salah, beliau menjelaskan tentang arti laylatul qadr sebagai malam saat nilai ibadah yang kita lakukan setara dengan ibadah yang dikerjakan selama seribu bulan. Malam qadr dengan demikian ibarat premier time yang berlangsung singkat, dari malam hingga terbit fajar. Meski singkat, akan tetapi setiap ibadah yang dilakukan pada malam tersebut memiliki nilai balasan yang teramat tinggi. Pendapat ini adalah pendapat umum yang tersebar luas di tengah-tengah masyarakat kita. Lalu apa penafsiran berikutnya? Quraish Shihab mengartikan term terbit matahari, mathla’ al-fajr, di ayat 5 surat tersebut sebagai akhir hayat manusia. Maksudnya, mereka yang dikaruniai Tuhan untuk bertemu laylatul qadr akan menjadi orang yang selalu berbuat baik sepanjang hidupnya, dan perilakunya itu tidaklah terbatas pada satu malam saja. Di sini Quraish Shihab berargumen bahwa pengaruh malam qadr tidaklah berlangsung singkat, melainkan membekas dalam diri seseorang, dimana orang yang bersangkutan akan selalu mendapatkan bimbingan dari Tuhan hingga ia meninggal.
Apabila kita menerima penafsiran kedua ini, maka ide bahwa al-Ruh sebagai sebuah objek yang memiliki arti yang sama dengan ruh, dapat kita kita pahami dengan logis. Ia adalah keadaan sadar diri dalam perlindungan dan petunjuk Tuhan. Kesadaran akan ajaran-ajaranNya, sebagaimana dahulu para nabi dan rasul telah “terasuki”. Untungnya, rasa sadar ini bukan hanya milik mereka. Kita para manusia biasa juga bisa mendapatkan al-Ruh. Saat dimana Tuhan menganugerahkan al-Ruh pada diri seseorang adalah pada malam qadr. Pada malam inilah atas seizin Tuhan, al-Ruh diberikan kepada hamba-hamba pilihanNya. Sekali lagi, pengaruh al-Ruh bersifat permanen. Ia akan mempengaruhi kehidupan orang terpilih tersebut sepanjang hayatnya hingga ia meninggal dunia.
Penafsiran bahwa al-Ruh memiliki arti yang sama dengan ruh, dalam banyak hal menjelaskan pula tentang hakekat agama dan juga Al-Quran. Pertanyaan yang selalu menggugah ilmuwan, kenapa manusia beragama, darimana asal muasal Al-Quran, selanjutnya berkaitan dengan ide bagaimana Tuhan menyampaikan al-Ruh secara subjektif. Bahwa keberagamaan dan kemudian Al-Quran sendiri adalah anugerah yang diberikan Tuhan kepada manusia, dan pertanyaan mengenai asal-usul keduanya akan tetap menjadi rahasia Tuhan untuk selama-lamanya. Manusia tidak akan pernah dapat mengerti hakekat keberagamaan dan Al-Quran. Pada titik inilah mestinya ayat 17:85 dipahami. “yas’alunaka a’n al-Ruh, qul al-Ruh min amri Rabbi, wa ma utitum min al-i’lm illa qalilan”. Mereka bertanya padamu tentang wahyu dan agama, juga tentang keberagamaan itu sendiri. Katakan, bahwa hal tersebut adalah urusan Tuhanku, dan kalian tidaklah memiliki pengetahuan atasnya kecuali sedikit.
Wa Allah A’lam bi al-shawwab.
Catatan kecil
- Arti kata ruh dalam Al-Quran tidak identik dengan pengertian roh dalam bahasa Indonesia.
- yang menjadi tujuan dalam laylatul qadr adalah pengharapan akan datangnya al-Ruh dari Tuhan kepada diri kita.
- Sebagaimana wahyu, maka turunnya ruh pun sekehendak Tuhan. Hanya Tuhan jualah yang berhak memberikan ruh kepada diri seseorang.
- Pengaruh al-Ruh terhadap perilaku orang yang mendapatkannya bersifat permanen hingga ia meninggal dunia.
Assw.
BalasHapusTerimakasih, pembahasan yang mendalam dan logis. Jarang ditemui tulisan secantik ini.
asswr wb...
BalasHapustulisan menarik..mas agor bilang cantik..sayah bilang tampan..
hahahah
wassalam
jd perbedaan antara roh dengan tuhan apa? mohon pendapatnya.....
BalasHapusTuhan tidak dapat disamakan oleh segala sesuatu
HapusAlhmdudilah meski penulisannya sdikit tp artinya luar biasa...smoga smua ciptaanya bs melihat tulisan ini...
BalasHapus:)
BalasHapusExxelent ...ya akhi...tapi bila sedikit lagi mau membuka buku mengenai ruh dan al ruh berdasarkan sistemik Al qur'an maka akan dapat mendekati kebenaran dan entitas yang lebih bernilai....coba berangkat dari surat Al Alaq..hingga surat Al maidah.. jaza kumullahi katsiron
BalasHapusSila teliti juga isi kandungan yang terdapat di dalam :http://cahayamenerangikegelapan.blogspot.com/2011/10/masalah-roh.html
BalasHapusSila teliti juga isi kandungan yang terdapat di dalam :http://cahayamenerangikegelapan.blogspot.com/2011/10/masalah-roh.html
BalasHapusizin copy ya om...sbg tambahan ilmu..terimakasih
BalasHapusMaa syaa Allaah . Tabarokallaah.. . Terimakasih .. Mohon dijelaskan, bukankah di surat 32:8-9 dijelaskan bahwa Ruh KU itu diberikan kepada semua turunan Nabi Adam setelah terjadinya pembuahan spermatozoa?
BalasHapusSyukran
Terimkasih Mas...sedang mengkaji al-qadr dapat tulisan ini, tentu intervensi Allah yg menganugerahkan ruh itu sendiri..pencarian berlanjut... Smg barokah. =)
BalasHapustulisan yang mencerahkan.
BalasHapusAlhamdullah,....Suwun
BalasHapus