Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Purnama di atas Bromo (3)

IMG_2775

Ah, puas rasanya menikmati pemandangan yang tiada duanya ini. Tak terasa, rasa lapar sudah melilit perut kami. Maka, setelah semua berkumpul kembali, bersama pergi menikmati sarapan di rumahmakan bagi pengamatan aktivitas gunung berapi. Tidak terlalu jauh, kurang dari satu kilometer ke arah Timur, di puncak salah satu kaldera trim Bromo. Hmm.. lezat sekali, suguhan nasi goreng ditambah telur dadar. Bu Wulan yang lagi diet bahkan sampai nambah dua kali. Maklum saja, sejak semalam kami belum berjumpa dengan nasi. Lagipula, udara dingin memang selalu membawa efek begitu. Setelah mencuci muka dan ke kamar kecil, sekitar jam delapan pagi, kami pun bertolak dari Bromo kembali ke Malang, mengambil rute serupa dengan waktu perjalanan pergi, kami kembali.

Bahkan pada saat mentari sudah lebih dari sepenggalah, teriknya yang menyengat masih juga belum kami rasakan. Baru terasa, saat memasuki Malang yang tibatiba terasa sumpek dan gerah. Uh, lengket sekali badan terasa. Seandainya kami mandi saat di Bromo, tapi siapa juga yang mau bermandi ria bersama air sedingin freezer. Jadilah, jamjam antara pukul sepuluh hingga duabelas siang menjadi begitu panas. Ingin rasaya lekas sampai di hotel, membasuh tubuh ini dengan air dan menghilangkat keringat di sekujur ruas badan. Ah, tapi itu masih satu setengah jam lagi.

***

Perkampungan di lereng gunung Bromo masih sangat asri. Bukitbukit permai dengan suasana hijau khas dataran tinggi tersebar di seluruh mata memandang. Bila dibandingkan dengan resor dataran tinggi di Malino, dataran tinggi Bromo jauh lebih indah. Memang, hutanhutan pinus sudah mulai jarang. Tandatanda peradaban telah mencapai batasbatas tertingginya. Perkebunan kol dan bawang, adalah hal yang lazim di sini. Agak kebawah baru terlihat perkebunan apel yang tidak terlalu besar. Dari sisi administrasi, wilayah gunung Bromo terbagi ke dalam empat kabupaten: Malang, Pasuruan, Probolinggo dan Lumajang. Mayoritas warga di bagian atas beragama Hindu, sedang di bawah keadaan mulai heterogen. Di beberapa tempat saya bahkan dapat melihat masjid dan gereja.

Memang, dibandingkan dengan daerah lain di pulau Jawa, kawasan tapal kuda pulau ini yang dulu disebut dengan Blambangan merupakan daerah paling akhir yang penduduknya memeluk agama Islam. Di dataran tinggi, macam Batu dan daerahdaerah lain seperti Magelang, Puncak bahkan Malino, yang sejak zaman kolonial sering digunakan sebagai tempat tertirah
official Belanda, pengaruh Kristen cukup kuat. Meskipun demikian, barangkali khas masyarakat Jawa, toleransi yang terjalin antar tiga kepercayaan ini berlangsung damai, meski di sana sini kadang terjadi riak kecil. (Untuk lebih memperdalam wawasan sosiografi masyarakat Tengger, saya menyarankan anda untuk membuka situs Desantara, dan Interseksi. Kedua situs ini memberikan sebuah sudut pandang baru tentang Tengger berikut hakhak minoritas di sana, dari berbagai aspek. Beberapa tulisan yang lebih populer, bisa anda dapati di situs Sejarah, dan Tengger People. Beberapa bahan saya dapat disana. Saya sendiri awalnya memang berminat menggabungkan dua sudut pandang dalam wisata Tengger ini, tapi karena masih begitu awam, terpaksa saya batasi pada pandangan mata semata. Jadi agar tidak meluas kemanamana bisa cek ke keempat situs tadi. Maaf, kalau ada kesalahan. :p)

IMG_2786
IMG_2785

***

Kembali ke Jakarta

Hampir tengah hari, dan kami baru sampai di penginapan. Seperti biasa, saya langsung menuju kamar mandi dan membersihkan diri. Ari dan Ida sudah menunggu di sana. Kedua penganten baru ini, terlihat berbinarbinar ceria. Dengan membawa buah tangan bakso bakar khas Malang, mereka menemani kami berkemas dan bersiap pulang kembali ke Jakarta. Sejam kemudian, setelah check out, kami berangkat bersama menuju stasiun.  Kali ini menumpang angkutan kota bertanda ABG, sementara penganten baru itu naik sepeda motor menemani kepulangan kami. Every body happy, I allways see smile attached at our faces along the trip

Tepat pukul tiga sore, ketika petugas perjalanan kereta api meniup peluit panjang tanda keberangkatan. Dengan perlahan, kereta Matarmaja yang membawa kami berenam beranjak meninggalkan kota Malang. Sinyal kuno peninggalan Belanda tergantung lusuh di tepi rel, anakanak kecil berlarian di kirikanan jalur kereta yang membelah perkampungan miskin masyarakat kota. Debu berterbangan mengiringi setiap perjalanan, dan setiap kali kereta ini selesai menerobos kesemerawutan, kulihat anakanak kecil itu berkerumun kembali di atas rel tua memainkan permainan yang dulu pernah kita lakukan. Layangan, bola sepak, tubuhtubuh dekil, sampah yang bertebaran, jelaga dan rasa letih. Dari tempat dudukku yang menghadap ke belakang, kulihat itu semua. Kulihat pendakian itu, malammalam dingin, perjamuan, perjalanan dan kegembiraan. Kulihat Malang.

Bak sebuah sihir. Dan di atas kereta ini, kumelihat sebuah sihir yang tak lagi mampu menampakkan karomahnya. Maryamah Karpov. Lebih dari empat hari sebelumnya, dan saya masih belum juga merasa in saat membaca. Apa mungkin kedigdayaan Bromo begitu memikat saya? Entahlah, yang ada di pikiran saya pada saat itu hanyalah sebuah tulisan yang mengendap lama dan baru kali ini ingin saya ungkapkan.


Maryamah Karpov atawa Kemana Perginya para Intelektual Kita

Sejak pertamakali ku menyentuh Laskar Pelangi, kubilang dalam hatiku. Betapa mulianya citacita itu. Berkalang debu kau pergi mengejar, hanya untuk sekolah reot yang tak sanggup tegak. Maka di sanalah, perkenalan dengan khazanah dunia. Kemudian pergi jauh nun ke ujung Eropa, berteman Edensor. Adakah suatu yang terbawa pulang. Ataukah itu hanya jejakjejak kosong yang tak sanggup terhapus? Saat yang maya terantuk uang. Bisakah kau sebut itu sebagai cita? Atukah, kita yang menyebut dirinya seorang intelektual harus terhempas pasrah di kaki dunia?

Marx dahulu bilang bahwa tugas filosof, baca: intelektual, adalah mengubah dunia. Mengubah yang timpang ini kembali kepada equilibrum, mengubah yang tidak sempurna menjadi karyakarya agung. Bisakah kau mengatakan dapat, saat dirimu sendiri tak sanggup kau rubah? Setidaknya untuk hidupmu dahulu. Saat sekolah menjadi sebuah tujuan, apakah kau lupa ada hal lain bersembunyi di baliknya. Sebuah ikrar yang kita baca saat wisuda. Sebuah tanggung jawab intelektual, sebuah manifesto.

Ah, kemudian kau katakan banyak dari kita lalu melacurkan dirinya untuk kehidupan. Dan kau akan mengenali mereka di kabarkabar siang dan malam. Tentu aku setuju padamu. Itu karena kita mengharap terlalu banyak dan begitu sedikit yang kita beri. Dan jadilah kita tak ubahnya mereka yang tak mengenal sama sekali bangku kuliah. Kalau begitu, buat apa sampai capek bahkan hingga jauhjauh pergi ke luar negeri, bila watak kita masih tetap sama dengan mereka. Tapi, bersusahsusah membuat kapal demi sebuah A ling, apa kau pikir itu kerja intelektual? Bukankah itu lelucon gelap yang tak layak untuk ditertawakan.

Mungkin kau bilang bahwa aku tidak lebih baik dari itu. Dan memang sering ku tersentak oleh mimpi di siang bolong. Tentang para intelektual Indonesia yang lalu terkucil dan hilang. Atau malah pergi ke arena cinta dan keduniawiaan. Memang benarbenar kondisi yang pelik. Pada akhirnya, ku kan kembali kepada konsepkonsep ubermancsh-nya Nietzsche, atau meneladani Nabi. Tentang sebuah perjalanan menuju pengendapan dan pemurnian apa yang kita sebut sebagai oleholeh dari taman pendidikan yang santun dan rendah hati. Dan dengan segala pembebasan yang telah ditanamkan ilmu pengetahuan itu, ku hanya berharap bisa merubah, setidaknya diriku sendiri.

Andai kubisa hidup seribu tahun. Tapi untuk apa, bila itu hanya untuk menunda kekalahan saja. Bukankah lebih baik sekali berarti sudah itu mati.

***

Pagi hari baru menyingsing dan kereta baru tiba di Cirebon. Berarti masih empat jam lagi ke Jakarta. Memang panjang dan melelahkan. Yah, bukankah itu perjalanan, panjang dan melelahkan. Dan karena itulah ia disebut demikian, sama seperti hidup kita yang panjang dan melelahkan. Entah itu berarti ataukah tidak. Bromo yang tinggi dan malammalamnya yang gelap. Bagiku itu seperti isra dan miraj.

IMG_2773



Behind the scene

Ada yang bertanya mengenai bagaimana cara pergi ke Bromo. Well, kita dapat memulainya baik dari Malang maupun Surabaya. Kami sendiri menggunakan jasa travel untuk ke sana. Sayang sekali, karena kesibukan, saya masih belum mendapat informasi yang jelas tentang travel apa yang kami sewa. Maklum, kawankawan Malang yang mengurusnya. Bila dapat, akan saya revisi kembali kolom informasi ini.

Tentang biaya perjalanan, berikut saya kutip dari rincian yang disampaikan oleh Lala:

Kereta Jakarta – Malang PP: Rp. 55.000 x 2 = Rp. 110.000 (Ekonomi)
Hotel  1 hari 1 malam : Rp. 100.000 s/d 160.000
Jasa travel ke Bromo (sudah termasuk tiket pass, naik kuda sekali jalan, kalau mau bolakbalik tambah Rp. 20.000, dan sarapan): Rp.175.000
Angkot: Rp. 50.000

Siapkan juga celana untuk pendakian, jangan pake jeans, jaket hangat, slayer, dan sepatu hiking. Dan uang tambahan untuk jagajaga dan beli oleholeh :D

Perjalanan ini tidak akan terlaksana tanpa bantuan dari berbagai pihak. Terimakasih penulis ucapkan kepada tim Merck Malang yang telah membantu mempersiapkan transportasi dan akomodasi. Kepada temanteman seperjalanan, bu Wulan, Agus, Lala, Indah dan Erna. Juga kepada pasangan pengantin baru Ari dan Ida. See you in the next trip!

 

6 komentar untuk "Purnama di atas Bromo (3)"

  1. aih bapak himawan...saya baru saja ingin menulis tentang maryamah karpov itu dan my too high expectation on it..
    Saya juga tidak habis pikir tentang kapal itu..dan mozaik mozaik yang tidak bisa satu di kepala saya..
    thanks buat budgetnya ya..thanks for representing my mind on maryamah karpov

    BalasHapus
  2. bro
    fotonya bagus..
    but i think u should make ur own endensor..bromonya bisa seindah endensor...

    BalasHapus
  3. aku rasa perjalanan mmg selalu membawa kesadaran batin bagi diri kita. Entah itu perjalanan di alam yg diciptakanNya.. ataukah perjalanan jauh ke dalam diri.

    Hijrah, berpindah, adalah konsepsi kita ttg perjalanan. Entah itu berpindah secara fisik, atau kah secara mental. Keduanya real. Entah realitas fisik, entah realitas pikiran.

    Ketika Nabi melaksanakan hijrah, beliau tidak hanya hijrah dari Makkah ke Madinah, tp jg hijrah secara mental. Ayat-ayat makkiyyah yg membawa pesan tauhid, dijabarkan oleh ayat-ayat Madaniyyah untuk membangun peradaban, menciptakan dunia baru. Bisa ku simpulkan, hijrah sebagaimana tauhid itu sendiri adalah gagasan-gagasan radikal yg pernah diteteskan Allah ke muka bumi.

    * * *

    Aku baru baca buku pertama tetralogi LP. Apa iya Ikal membangun kapal demi A Ling? Apakah tidak ada tujuan yg lebih luhur dari itu?

    Ah, cinta & keduniawian..

    Wan, mari kembali ke gelanggang intelektual..

    Suatu saat cinta akan menyapa tanpa harus mengejarnya..

    BalasHapus
  4. setuju ma sonny..ntah kenapa.sejak hijrah ke jawa timur..trus hijrah lagi secara periodik ke daerah2 di jawa timur..bukan hanya hijrah secar fisik aja yg terasa..tp secara batin hijrah lumayan jauh:)*bagian ini ga untuk untuk diceritakan tp:)*

    bromo..waahh..aku blom pernah loh..padahal lewat deket2 situ udah sering..tp dalam waktu dekat kayanya kesana:)

    BalasHapus
  5. @ Rika, Bila hijrah adalah salah satu tikungan penting bagi Nabi, kenapa juga ia harus disimpan untuk diri sendiri? :)

    @ Sonny, Saya rasa ada yang berbeda antara perjalanan dengan /hijrah/. /Hijrah/ lebih merupakan sebuah perubahan baik mental maupun fisik untuk memulai sesuatu yang baru. Adapun perjalanan bisa merupakan sebuah medium untuk hijrah, ataupun sebuah penyadaran kembali akan kehidupan seharihari. Para sufi sering menggunakan term perjalanan untuk menggambarkan sebuah perpindahan dari satu maqam ke maqam yang lain. Dalam perjalanan kita akan melihat flashback kehidupan kita, merenunginya, kemudian menimbang apa yang akan kita perbuat terhadapnya. Bisa dibilang, perjalanan merupakan sebuah energi potensial yang tertarik ke titiknya yang paling ekstrim, sedangkan /hijrah/ adalah sebuah ledakan yang ditimbulkan oleh energi yang menggumpal itu. Sebenarnya ledakan dalam diri itu bisa mengambil bentuk yang lebih harfiah, semisal kemarahan dan pengungkapan emosi yang berlebihan untuk sesaat. /Hijrah/ berada pada sisi yang lebih kontemplatif dan berorientasi kedepan, jadi ia jauh lebih moderat dalam hal ekspresi, tapi lebih memiliki nilai kesadaran yang tinggi ketimbang kegilaan sesaat tadi. Dari sudut lingusitik, mungkin ia hanya berbeda satu huruf dengan/ hajar/, batu, yakni menggunakan /ha/ besar bukan /ha/ kecil. Dan sebagaimana katakata dalam bahasa Arab yang saling berkorelasi satu sama lain, ia bisa diartikan sebagai antinomi dari /hajar/ yang keras dan menyakitkan itu. /Hijrah/ itu selalu lembut dan melegakan semua pihak.

    Mengenai kembali kepada gelanggang intelektual, saya rasa itu adalah momen yang telah lewat dalam hidupku. Karena aku kini adalah anak panah yang diletupkan oleh busur intelektual dan meluncur deras ke tujuan tertinggi darinya: /humanity, prosperity, justice, and glory/. /I'd like to change the world! Yet, it only a result of lifelong work, while the essence of that was to regenerated your effort day by day. The process, that's the point/! /People always daydreaming about the idea, but they forgot about its nature, in which I translated within my future strategic plan/ /and my actions/. /So, what is your intellectual purposes? If so, am I leaved the intellectualism? No. It's inherited in myself. It's part of me, my behavior.

    On love, I only said,/ itu urusan Tuhan.

    @ Debi, Thank you so much.

    My own Edensor? Sure, I should be. But, it wasn't Bromo. You know, It could be somewhere we should going to, and in my mind, I do have more vivid dream: The prosperous Indonesia. In where no land like that, a good home, a nice civilians, a brighter culture, the truly hospitality of civilization, a good example of good nation and inhabitant. It's my heading, it's my Edensor.

    Can you tell me please, what is your Edensor?

    @ Hesty, Your welcome, I only try to sound my mind on the subject. :)

    BalasHapus
  6. bromo? wah, itu adalah salah satu tempat yg paling ingin saya kunjungi, tapi belum kesampaian juga, mudah2an suatu saat kali ya... :)

    BalasHapus